PENDIDIKAN KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP (PKLH)
IMPLEMENTASI DAN PERMASALAHANNYA
oleh
Ida Bagus Made Astawa
Jurusan Pendidikan Geografi
Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Masalah lingkungan yang dihadapi
akhir-akhir ini telah mengusik eksistensi bumi sebagai dunia dengan
lingkungannnya yang lestari. Terusiknya eksistensi bumi tersebut bukanlah
sesuatu yang berdiri sendiri. Keberadaannya berhubungan erat dengan masalah
kependudukan dalam konteks penduduk dan pembangunan. PKLH merupakan program
pendidikan yang ditujukan untuk mengubah sikap dan perilaku manusia agar
bereproduksi secara rasional, memelihara lingkungan hidup, dan bertanggung
jawab terhadap kualitas kehidupan sekarang dan masa mendatang melalui proses
pendidikan. Melalui PKLH, diharapkan eksistensi bumi sebagai dunia dengan
lingkungan hidup yang lestari dapat dipertahankan. Namun, dengan tidak
menjadikan PKLH sebagai mata kuliah wajib di LPTK, pembelajarannya di sekolah
yang diintegrasikan dengan mata pelajaran lainnya menjumpai berbagai kesulitan.
Hal tersebut, pada akhirnya berpengaruh pada pencapaian tujuan kurikuler PKLH.
Jika PKLH masih dijadikan sebagai program dalam pembentukan sikap dan perilaku
yang berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup, maka penting untuk dilakukan
penyempurnaan pada Program PKLH secara menyeluruh.
Kata kunci : pendekatan
integratif, bumi sebagai dunia, PKLH, masalah lingkungan.
ABSTRACT
Manusia,
sejak permulaan keberadaannya di bumi, sudah hidup dari dan dengan
lingkungannya. Semasih segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan
memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya, dan semasih bumi mampu memproses
secara alamiah buangan/sisa yang diperlukan manusia, tidak ada masalah yang
perlu dikhawatirkan pada lingkungan. Namun, sejalan dengan peningkatan
kebutuhan dan perkembangan teknologi manusia, tampak masalah lingkungan menjadi
semakin memprihatinkan. Masalah lingkungan bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, melainkan sangat erat hubungannya dengan masalah kependudukan dalam
konteks penduduk dan pembangunan (Ananta, 1992; Mantra,2001; Moertopo, 1992).
Dalam hal ini, kerusakan lingkungan tidak hanya sebagai akibat dari
bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan hidup. Terdapat proses lain
yang menyertai yang menyebabkan menipisnya sumber daya alam menjadi jauh lebih
parah.
Semakin
meluasnya masalah lingkungan menyebabkan isu, perhatian, dan aktivitas
lingkungan mulai diperkenalkan secara meluas sejak dasa warsa 1960-an.
Puncaknya adalah pada dasa warsa 1970-an, yaitu dengan digelarnya The United
Nation Conference on Human Environment di Stockholm oleh PBB pada tanggal 5
s/d 16 Juni 1972 (Sumaatmadja, 2001). Implementasi dari resolusi Stockholm
adalah dibentuknya badan khusus yang membidangi permasalahan lingkungan oleh
PBB yang dikenal dengan United Nations Environmental Programs (UNEP)
yang bermarkas di Nairobi, Kenya (Soemarwoto, 1982).
Namun
demikian, satu setengah dasa warsa setelah dicetuskannya resolusi Stockholm
(tahun 1987), Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB dalam
laporannya (Our Common Future) mengidentifikasi sejumlah gejala
global yang mengancam eksistensi bumi (Astawa, 1999), di antaranya yang sangat
dikhawatirkan adalah rusaknya lapisan ozon, pemanasan global, hujan asam, dan
pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun (B3). Menurut Chiras (seorang
ahli lingkungan PBB) ancaman terhadap existensi bumi itu bisa terjadi karena
gejolak filsafat manusia yang diterapkan hingga dewasa ini pada kehidupan nyata
(dalam Astawa, 1999), di antaranya : (a) filsafat biological imprialism dan
ajaran relegi yang menganjurkan beranak
pinak tanpa batas; (b) filsafat I Versus not I dan tumbuhnya frontier mentality; (c)
falsafah membangun dengan mengembangkan ilmu dan teknologi yang makin besar dan
canggih; (d) falsafah bahwa manusia ada di atas alam dengan kemampuan
berfikirnya dan anggapan bahwa sumber alam di bumi tidak terbatas, berlimpah;
(e) falsafah ekonomi (bermodal minimal untuk meraih keuntungan maksimal dalam
tempo yang sesingkat mungkin).
Menyadari
paparan di atas dan memperhatikan
hakikat pendidikan (Salam, 1997), maka dalam rangka menumbuhkembangkan sikap
dan perilaku masyarakat yang berwawasan
kependudukan dan lingkungan hidup, peran pedidikan menjadi sangat penting. Dicanangkannya PKLH dalam pendidikan formal
ataupun nonformal menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk berperan
serta dalam mewujudkan eksistensi bumi sebagai dunia yang lestari melalui
pendidikan.
Namun
demikian, memperhatikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak
lagi menjadikan PKLH sebagai mata kuliah wajib, sementara di sekolah PKLH
dituntut diintegrasikan pada mata pelajaran yang ada, maka implementasi PKLH di
sekolah perlu dipertanyakan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas implementasi
PKLH di sekolah beserta permasalahannya, dengan menggunakan beberapa sumber dan
pengalaman selama menjadi instruktur pada pelatihan PKLH bagi guru-guru sekolah
(TK - SLTA) se Bali. Dengan pembahasan tersebut diharapkan lebih terungkap
berbagai permasalahan dalam mengimplementasikan PKLH di sekolah, sehingga
solusi dapat diberikan sebagai suatu alternatif.
PKLH
bukanlah sekadar menyajikan kepada murid contoh-contoh kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh perilaku manusia, yang bahan-bahannya dapat diambil dari
guntingan-guntingan koran atau yang sejenisnya. Pembelajaran PKLH harus
mengandung etika lingkungan dengan mengajak anak didik menyadari makna
lingkungan baginya dan keterkaitannya dengan penduduk (Sumaatmadja, 2001;
Kastama, 1996). Dengan demikian, secara mendasar guru dituntut memahami PKLH,
di samping kewajibannya memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan PKLH ke dalam
mata pelajaran pokoknya (Kastama, 1996).
2. Pembahasan
2.1 PKLH dan Implementasinya
Terkait
dengan PKLH, sebelum tahun 1984, dikenal dua program, yaitu Pendidikan
Kependudukan (Population Education) dan Pendidikan Lingkungan Hidup (Environmental
Education). Pendidikan Kependudukan dicanangkan oleh Depdikbud mulai tahun
1970, dengan latar belakang kekhawatiran dunia akan adanya pertumbuhan penduduk
yang tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan bahan-bahan kebutuhan hidup.
Sebagai suatu proses pendidikan, Pendidikan Kependudukan ditekankan pada
informasi masalah kependudukan dengan tujuan mengubah sikap mental masyarakat
ke arah hal-hal yang positif dalam menanggulangi masalah kependudukan
(Sumaatmadja, 2001). Dalam hal ini, sasaran utama Pendidikan Kependudukan
adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap masalah reproduksi dan persebaran
penduduk secara rasional dan bertanggung jawab.
Pendidikan
Lingkungan Hidup merupakan program yang dicanangkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai tahun 1981. International Union for
Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memberikan batasan Pendidikan Lingkungan Hidup (dalam
Sumaatmadja, 2001) sebagai berikut.
“Environmental education is a process of recogniting values and
clarifying concepts in order to develop the skills and attitudes that are
necessary to understand and appreciate the interrelations among man, his
culture and his biophysical surrounding. Environment education is also entails
practise in dicision-making, and the self-formulation of code of behaviour
about the issues concerning environmental quality”
Dalam
batasan itu tersirat bahwa sasaran utama dari Pendidikan Lingkungan Hidup
diletakkan pada upaya mengembangkan sikap dan perilaku yang bermakna (rasional
dan bertanggung jawab) terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam.
Tujuan
utama dari dua program tersebut memang tampak berbeda, namun, secara implisit
pada dasarnya kedua program tersebut adalah sama, yaitu ditujukan untuk
menunjang terbinanya kualitas hidup penduduk secara lebih baik. Kedua program
tersebut juga memiliki objek kajian yang sama, yaitu dinamika penduduk dan
integrasi perilakunya (manusia) terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan
fisiknya. Persamaan lainnya juga tampak dari pendekatan pelaksanaannya, yaitu
sama-sama menggunakan pendekatan multidisiplin dengan mengintegrasikan fakta,
konsep, prinsip dan teori kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam berbagai
studi yang relevan.
Karena
adanya persamaan itulah kemudian Depdikbud, LIPI dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) memprakarsai seminar-lokakarya (semiloka) yang
pelaksanaannya dilakukan pada bulan Juli dan Oktober 1983 serta bulan Januari
1984. Hasil tiga kali semiloka tersebut adalah disepakati penyatuan kedua
program menjadi satu program, yaitu
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang kemudian lebih dikenal dengan
PKLH.
Menurut
hasil semiloka tersebut, PKLH adalah suatu program kependidikan untuk membina
anak didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang
rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk
dan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Sasaran akhir dari PKLH
adalah terbentuknya Warga Negara Indonesia yang berwawasan kependudukan dan
lingkungan hidup, yaitu yang dalam tingkah laku sosial, ekonomi, politik dan
budayanya berpandangan progresif terhadap masalah-masalah kependudukan dan
lingkungan hidup menuju kehidupan keluarga dan masyarakat yang serasi seimbang
dalam hubungannya dengan Tuhan, lingkungan sosial dan lingkungan hidupnya
(Kastama,1996). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa PKLH sebagai program
pendidikan, pada dasarnya bertujuan membentuk sikap dan perilaku manusia agar
bereproduksi secara rasional, memelihara lingkungan hidup, dan bertanggung
jawab terhadap kualitas kehidupan sekarang dan masa mendatang melalui proses
pendidikan.
Untuk
mencapai tujuan tersebut PKLH diajarkan di semua jenjang pendidikan baik formal
maupun nonformal, mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi.
Pendekatan yang digunakan dalam mengimplementasikan PKLH di perguruan tinggi
cukup bervariasi. Ada yang menggunakan pendekatan monolitik, baik sebagai mata
kuliah wajib maupun sebagai mata kuliah kekhususan di program studi. Ada juga
yang menggunakan pendekatan integratif, di samping juga ada yang tidak
mencanangkannya sebagai mata kuliah.
Di
LPTK, dengan pemberlakukaan SK Mendikbud RI
Nomor 0193/U/1976, PKLH menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri
(monolitik) dan termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).
Perrtimbangan yang melandasinya adalah, sebagai lembaga yang menghasilkan
tenaga kependidikan (calon guru), seorang lulusan LPTK harus memiliki kemampuan
untuk mengajarkan PKLH secara terintegrasi di sekolah pada mata pelajaran yang
dijarkan.
Namun,
dengan pemberlakukaan SK Mendikbud RI Nomor 0212/DJ/Kep/ 1983 tentang Kurikulum
Inti Program Sarjana dan Program Diploma Bidang Kependidikan, yang tidak
menjadikan PKLH mata kuliah wajib yang berdiri sendiri di LPTK, berbagai
variasi muncul dalam mengimplementasikan materi PKLH di LPTK. Ada yang
menjadikan PKLH sebagai mata kuliah yang diajarkan secara monolitik dengan
memasukkannya ke dalam kelompok MKDU. Ada yang memasukkan PKLH kedalam Mata
Kuliah Kekhususan Program Studi, seperti terlihat di IKIP Negeri Singaraja
(namun, hanya di Jurusan Pendidikan Biologi, Pendidikan Geografi, dan PPKn). Di
samping itu, ada juga LPTK yang tidak mengajarkannya secara monolitik, tetapi
menyajikannya secara integratif, dengan mengintegrasikan PKLH ke dalam mata
kuliah Ilmu Sosial Dasar (dalam kelompok MKDU).
Terlepas
dari variasi pengimpelementasian PKLH tersebut, keberadaan PKLH secara
monolitik di perguruan tinggi perlu dipertahankan, khususnya di LPTK
(Kastama,1996). Sebagai calon guru, mahasiswa LPTK dituntut mempunyai persepsi
yang mantap tentang kemungkinan adanya dampak negatif dari pertumbuhan penduduk
yang tidak terkendali atau tentang adanya interaksi negatif dengan lingkungan
hidupnya, di samping karena kependudukan dan lingkungan hidup menjadi hal yang
mendasar sebagai penjabaran ketentuan GBHN, terutama dalam membentuk sikap dan
perilaku generasi muda berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup.
Di
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah (SM),
PKLH diimplementasikan secara integratif ke dalam sejumlah mata
pelajaran yang relevan. Di tingkat SD PKLH diintegrasikan pada bidang studi
IPS, IPA, PPKn, Agama, Pendidikan Jasmani/Olahraga, dan Bahasa. Di SM, PKLH
diintegrasikan pada mata pelajaran Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi dan
Antropologi, PPKn, Biologi, dan mata pelajaran Kimia (Depdikbud, 1990)
Digunakannya pendekatan integratif dalam pembelajaran PKLH di sekolah dilandasi
pertimbangan bahwa kurikulum yang ada sudah terlalu sarat, sehingga tidak
memungkinkan lagi PKLH dijadikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan secara
monolitik.
Dalam
mengintegrasikan PKLH pada bidang studi atau mata pelajaran yang telah
disebutkan di atas, Depdikbud pada tahun 1990 menerbitkan Buku Pegangan Guru
PKLH pada semua jenjang pendidikan. Buku itu memuat Garis-Garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) PKLH yang dipadukan dengan mata pelajaran yang
diintegrasikan. Dengan buku tersebut guru mata pelajaran yang dintegrasikan
diharapkan menjadi lebih terarah dalam mengembangkan PKLH ke dalam mata
pelajaran yang diasuhnya. Untuk itu,
dalam pengembangannya diperlukan suatu koordinasi di antara sesama guru mata
pelajaran di mana PKLH diintegrasikan,
sehingga tujuan PKLH dapat diterima
secara utuh oleh peserta didik.
Di
samping itu, dari sisi pedagogis, Munir (1996) mengemukakan, yang perlu
diperhatikan guru dalam mengimplementasikan PKLH adalah tiga daya yang terdapat dalam diri sasaran didik yang
secara resultan akan menimbulkan perilaku (yang dapat diamati), yaitu a) daya
individual yang sudah ada dalam diri seseorang atau individu (perhatikan Gestalt
Theory dari W.Kohler), b) daya rangsangan terhadap seseorang yang
ditanggapi (perhatikan Stimulus-Respons the Theory dari B.F.Skinner), c)
daya pengulangan pengalaman yang enak/baik, dan menghindari pengalaman yang
tidak enak/baik (perhatikan Conditioning Theory dari James W).
Berarti,
secara pedagogis, implementasi PKLH dalam pembelajaran menuntut guru tidak
hanya sekadar mampu menyajikan kepada murid contoh-contoh kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh perilaku manusia, yang bahan-bahannya dapat diambil dari
guntingan-guntingan koran atau yang sejenisnya. Dalam hal ini, seorang guru
dituntut mampu menyadari keberadaan siswanya terkait dengan lingkungan tempat
mereka berada dan mampu menstimulasi sasaran didik untuk menumbuhkan sikap dan
perilaku yang mengandung etika lingkungan (Sumaatmadja, 2001). Sikap dan
perilaku tersebut ditumbuhkan dengan mengajak anak didik menyadari makna
lingkungan baginya dan memahami keterkaitannya dengan penduduk. Di samping itu,
sikap dan perilaku yang berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup juga perlu
dimiliki dan ditunjukkan oleh seorang guru untuk dapat diteladani oleh
siswanya. Berarti, untuk dapat melakukan pengintegrasian PKLH ke dalam mata
pelajarannya, pemahaman seorang guru tentang PLKH menjadi mutlak, di samping
kemampuan merespon dan keteladanannya sebagai pencinta dan pelestari
lingkungan.
2.2 Permasalahan Pembelajaran PKLH di Sekolah
Telah
dikemukakan di atas bahwa PKLH di sekolah diimplementasikan menggunakan
pendekatan integratif. Hasil monitoring dan supervisi Depdikbud terhadap
Pendidikan Kependudukan yang diimplementasikan secara integratif di sekolah
memperlihatkan adanya beberapa hambatan (Kastama, 1996). Salah satunya adalah
sulitnya guru mengintegrasikan materi Pendidikan Kependudukan ke dalam bidang
studi atau mata pelajarannya, walaupun GBPP sudah disiapkan. Hal yang sama juga
dijumpai oleh Rideng (1997) dalam penelitiannya tentang Pelaksanaan PKLH di SMU
di kabupaten Buleleng.
Terkait
dengan PKLH, pada kurun waktu 1996-1999, penulis ditugaskan sebagai
instruktur/nara sumber dalam Pelatihan PKLH yang diselenggarakan oleh Dinas
Pendidikans Profinsi Bali. Peserta pelatihannya adalah guru-guru TK, SD, SLTP
dan SMU/K pengajar mata pelajaran di mana PKLH diintegrasikan. Kesempatan itu
juga digunakan melakukan wawancara dengan peserta pelatihan. Hasil
wawancara mengidentifikasi permasalahan
dalam implementasi PKLH di sekolah, seperti diuraikan berikut ini.
2.2.1 Masalah Guru sebagai Tenaga Pengajar PKLH
Implementasi PKLH secara integratif di sekolah terlihat memudahkan dan
memperlancar pelaksanaan PKLH karena jumlah guru yang dipandang turut mengambil
bagian tanggung jawab dalam melaksanakan program PKLH menjadi cukup banyak.
Namun, tanggung jawab yang diemban oleh guru bersangkutan menjadi berkurang.
Sementara, guru dituntut perhatian dan kemampuannya secara konprehensif
menyeluruh, di samping kemampuan dasar yang dapat menjamin pelaksanaan tugasnya
sesuai dengan tujuan pendidikan (Sumaatmadja, 2001). Berkurangnya tanggung
jawab guru merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan integratif
karena PKLH hanyalah materi titipan pada mata pelajaran yang menjadi tugas
pokok guru yang bersangkutan.
Di samping itu, implementasi PKLH dengan pendekatan integratifnya
terlihat tidak akan menambah beban waktu efektif suatu mata pelajaran. Namun,
guru akan kesulitan mengalokasikan waktu pada PKLH karena untuk mata pelajaran pokoknya
saja waktu yang disediakan sudah sedemikian ketat, sehingga sulit untuk
menambahkan pokok bahasan yang dititipkan dari PKLH. Kenyataan tersebut tentu
berimplikasi pada pencapaian tujuan kurikuler PKLH itu sendiri.
2.2.2 Masalah Bahan Pelajaran
Pengintegrasian bahan pelajaran PKLH ke dalam mata pelajaran lain,
dalam penyajiannya jelas akan memperoleh fokus bahasan dari guru yang dibebani
tanggung jawab tersebut. Bisa terjadi seorang guru yang mengintegrasikan PKLH
berkurang perhatiannya terhadap bahan pelajaran pokok yang seharusnya menjadi
tanggung jawab profesinya, atau sebaliknya pokok bahasan PKLH menjadi sangat
berkurang, bahkan mungkin terlupakan. Hal itu akan berdampak pada pencapaian tujuan kurikuler PKLH itu sendiri dan pada pencapaian
kurikuler secara menyeluruh.
Di samping itu, pengintegrasian tersebut juga dapat menimbulkan
terpisah-pisahnya pokok bahasan PKLH. Hal ini akan mengganggu kesatuan program
PKLH, sementara keutuhan program sebagai
satu kesatuan menjadi tututan dasar dalam pencapaian kurikulum (Nasution,1982).
Dampaknya adalah pada sasaran didik dalam menerima PKLH sebagai program.
Pemahaman siswa pada PKLH akan menjadi terkotak-kotak, tidak secara utuh dalam
suatu kebulatan program yang menyeluruh. Kenyataan tersebut tentu akan
menggangu pula keberhasilan tujuan kurikuler PKLH.
2.2.3 Metode dan Teknik Penyajian
Setiap pokok bahasan membutuhkan metode dan teknik penyajian tertentu
yang dirasakan efektif (Salam,1997). Dengan pengimplementasian PKLH secara
integratif, persoalannya terletak pada bagaimana para pengajar terampil
menggunakan dan mentransfer metode yang digunakannya untuk mata pelajaran
pokoknya sebagai metode untuk menyajikan pokok bahasan PKLH. Pada saat pokok
bahasan PKLH memperlihatkan corak atau ciri yang khas untuk menerapkan metode
tertentu, maka tidak mustahil akan timbul kesulitan dalam menghadapi metode
tersebut untuk dintegrasikan dengan pokok bahasan pada mata pelajaran pokoknya.
Permasalahan yang timbul pada penerapan metode dan teknik penyajian PKLH, maka
akan berimplikasi pada tujuan kurikuler secara keseluruhan, baik mata pelajaran
yang dititipkan maupun tujuan kurikuler PKLH itu sendiri. Dalam hal ini, guru
akan lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikuler dari mata pelajaran yang
menjadi tugas pokoknya.
2.2.4 Evaluasi
Tercapainya
tujuan pendidikan baru dapat diketahui bila telah dilakukan evaluasi terhadap
tindakan dan kegiatan pendidikan tersebut (Salam, 1997). Dengan pendekatan
integratif yang digunakan dalam mengimplementasikan PKLH sudah dapat
dibayangkan bagaimana sulitnya melaksanakan evaluasi sekaligus dalam bentuk
mata pelajaran yang sudah diintegrasikan. Hal tersebut akan berdampak juga pada
pencapaian tujuan kurikuler.
3. Penutup
Memperhatikan kendala-kendala yang muncul
dalam mengimplementasikan PKLH secara integratif di sekolah, dapat dikemukakan
bahwa hal tersebut secara umum akan berdampak pada pencapaian tujuan
kurikulernya. Jika tujuan kurikuler tidak tercapai, berati PKLH gagal dalam
membentuk insan-insan yang berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup. Jika
itu terjadi, janganlah berharap banyak bahwa bumi sebagai dunia dengan
lingkungan yang lestari akan dapat diwujudkan. Yang perlu dipertanyakan
kemudian, mengapa kerusakan lingkungan di Indonesia semakin parah? Apakah ini
sebagai kegagalan PKLH diimplementasikan selama 30 tahun dalam pendidikan
formal dan nonformal? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu pembuktian secara empiris, yang sudah tentu
menjadi tugas kita bersama.
Menyadari
kendala yang ada, maka implementasi PKLH sebagai suatu program pendidikan di
LPTK maupun di sekolah memerlukan pengkajian kembali dan penyempunaan. LPTK
sebagai lembaga “produsen” guru yang nantinya akan mengintegrasikan PKLH ke
dalam mata pelajarannya semestinya membekali lulusannya dengan PKLH. Sementara
itu, implementasi PKLH di sekolah dengan pendekatan integratif memerlukan
penyempurnaan GBPP dan koordinasi antarsesama guru pemegang mata pelajaran yang
dititipkan. Dalam hal ini, peranan
Kepala Sekolah sebagai koordinator sangat diperlukan, sehingga pengorganisasian
pokok bahasan-pokok bahasan dalam PKLH benar-benar dapat terintegrasikan dan
saling melengkapi pada mata pelajaran yang dititipkan. Untuk itu Kepala Sekolah
juga perlu mahami PKLH.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa,
Ida Bagus Made. 1999. “Pengertian Umum Kependudukan dan Lingkungan Hidup”.
Makalah disampikan dalam Diklat PKLH untuk Guru-Guru Sekolah (SD-SLTA) bulan
Nopember 1999 di Kanwil Depdikbud Provinsi Bali. Denpasar : Depdikbud Provinsi Bali
Ananta,
Aris. 1992. “Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan” dalam Warta Demografi
Tahun XXII Nomor 9. September 1992. Jakarta : LD-FEUI.
Depdikbud
RI. 1990. Buku Pegangan Guru Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Untuk Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas. Jakarta : Depdikbud.
Kastama,
Emo.1996. Pengantar Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH).
Jakarta : Depdikbud RI.
Mantra,
Ida Bagoes, 2000. Demografi Umum. Yogyakarta : Putaka Pelajar.
Moertopo,
Soegeng. 1992. “Pembangunan Berlanjut Berwawasan Lingkungan” dalam Seminar Nasional
Kualitas SDM dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, 28-29 April
1992. Yogyakarta : PAU - UGM .
Munir,
Rozy. 1996. “Pengantar PKLH”. Makalah disampaikan dalam Pelatihan PKLH
Tingkat Nasional di Jakarta.
Nasution,
S.1982. Asas-Asas Kurikulum. Bandung : Penerbit Jemmars
Rideng,
I Made. 1997. “Pelaksanaan PKLH di SMU di Kabupaten Buleleng”. Dalam Aneka
Widya No.1 TH.XXX Januari 1997. Singaraja : STKIP Singaraja.
Salam,
Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik).
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Soemarwoto,
Otto. 1982. “Pengelolaan Lingkungan”, Kertas Kerja dalam Kursus AMDAL
2-17 Februari 1982. Kerjasama Kantor Menteri Negara Pengawasan Lingkungan Hidup
dengan Lembaga Ekologi UNPAD Bandung,
Sumaatmadja,
Nursid, 2001. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta :
PT.Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar